REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang
Perekonomian Hatta Rajasa memimpin rapat koordinasi pembangunan Waduk
Jatigede di kantor Kemenko Perekonomian, Senin (9/12).
Rapat turut dihadiri Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto dan Kepala
Satuan Manunggal Satu Atap (Samsat) Penanganan Dampak Sosial Dan
Lingkungan Pembangunan Waduk Jatigede sekaligus Kepala Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah (Bappeda) Jawa Barat Deny Juanda Puradimaja.
Kepada wartawan, Hatta mengatakan substansi rapat kali ini adalah membahas usulan dari samsat untuk menyelesaikan permasalahan sosial dan lingkungan terkait pembangunan waduk yang berlokasi di Desa Cijeungjing, Kecamatan Jatigede, Kabupaten Sumedang. "Itu yang nanti akan dilindungi dengan perpres (peraturan presiden). Jadi, akan dibahas kembali usulan samsat tersebut dalam satu minggu," ujar Hatta.
Deny menambahkan rekomendasi dari samsat adalah masyarakat yang tidak memiliki hak relokasi diberi dana untuk jatah hidup setahun. Dana sebesar Rp 13 juta per kk meliputi sewa rumah, uang pembongkaran rumah hingga jatah hidup selama setahun ke depan. "Intinya kita harus dari aspirasi masyarakat dan regulasi," kata dia.
Deny menjelaskan, masyarakat yang terkena proyek pembangunan Waduk Jatigede terdiri dua kelompok. Pertama, kelompok masyarakat dengan payung hukum Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975.Berdasarkan beleid lawas tersebut, masyarakat sebanyak 4.590 kepala kkeluarga (KK) diberi lahan 400 meter persegi per KK, diberi rumah tipe 36 dan diberi jatah hidup satu tahun untuk memulai kehidupan yang baru. Kedua, kelompok masyarakat tanpa payung hukum Permendagri 15/1975 sebanyak 6.000 KK.
Denny menyebut kelompok tanpa payung hukum Permendagri 15/1975 terbagi dua yakni kelompok yang menerima pembebasan ganti rugi mutlak. "Nah, mereka ini sudah menerima. Tapi, karena proyek itu dibangun bertahap, lalu dia tinggal di situ sampai uangnya habis dan jatuh miskin," kata Deny.
Kelompok ini ditambah oleh pendatang dengan berbagai latar belakang. "Itu yang sekarang menjadi masalah. Mereka yang istilah hukumnya itu tidak mempunyai hak relokasi dan tidak ada payung hukum. Harusnya dia sudah pindah, kenapa tak pindah? karena jatuh miskin," papar Deny.
Lebih lanjut, Hatta mengatakan, Waduk Jatigede diupayakan agar digenangi pada akhir 2014. "Kita harapkan sampai akhir tahun (2013), masalah sosial sudah selesai," kata Hatta.
Terkait anggaran yang dibutuhkan, Hatta memperkirakan besarannya sekitar Rp 700 miliar. Anggaran nantinya perlu dibahas kembali oleh pemerintah bersama DPR. Anggaran, ujarnya, tidak dapat diberikan langsung ke samsat, melainkan melalui kementerian/lembaga terkait.
Sementara Djoko Kirmanto mengatakan, secara teknis, Waduk Jatigede sudah dapat digenangi 1 April 2014. Akan tetapi, jika permasalahan sosial belum selesai, target penggenangan bisa dimundurkan. "Tadi dikatakan, kalau diproses dengan catatan perpres keluar di Januari, maka prosesnya nanti baru bisa dilakukan 1 September," ujar Djoko seraya meyakini permasalahan sosial yang melingkupi pembangunan waduk yang telah digagas 46 tahun silam itu dapat terselesaikan.
Kepada wartawan, Hatta mengatakan substansi rapat kali ini adalah membahas usulan dari samsat untuk menyelesaikan permasalahan sosial dan lingkungan terkait pembangunan waduk yang berlokasi di Desa Cijeungjing, Kecamatan Jatigede, Kabupaten Sumedang. "Itu yang nanti akan dilindungi dengan perpres (peraturan presiden). Jadi, akan dibahas kembali usulan samsat tersebut dalam satu minggu," ujar Hatta.
Deny menambahkan rekomendasi dari samsat adalah masyarakat yang tidak memiliki hak relokasi diberi dana untuk jatah hidup setahun. Dana sebesar Rp 13 juta per kk meliputi sewa rumah, uang pembongkaran rumah hingga jatah hidup selama setahun ke depan. "Intinya kita harus dari aspirasi masyarakat dan regulasi," kata dia.
Deny menjelaskan, masyarakat yang terkena proyek pembangunan Waduk Jatigede terdiri dua kelompok. Pertama, kelompok masyarakat dengan payung hukum Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975.Berdasarkan beleid lawas tersebut, masyarakat sebanyak 4.590 kepala kkeluarga (KK) diberi lahan 400 meter persegi per KK, diberi rumah tipe 36 dan diberi jatah hidup satu tahun untuk memulai kehidupan yang baru. Kedua, kelompok masyarakat tanpa payung hukum Permendagri 15/1975 sebanyak 6.000 KK.
Denny menyebut kelompok tanpa payung hukum Permendagri 15/1975 terbagi dua yakni kelompok yang menerima pembebasan ganti rugi mutlak. "Nah, mereka ini sudah menerima. Tapi, karena proyek itu dibangun bertahap, lalu dia tinggal di situ sampai uangnya habis dan jatuh miskin," kata Deny.
Kelompok ini ditambah oleh pendatang dengan berbagai latar belakang. "Itu yang sekarang menjadi masalah. Mereka yang istilah hukumnya itu tidak mempunyai hak relokasi dan tidak ada payung hukum. Harusnya dia sudah pindah, kenapa tak pindah? karena jatuh miskin," papar Deny.
Lebih lanjut, Hatta mengatakan, Waduk Jatigede diupayakan agar digenangi pada akhir 2014. "Kita harapkan sampai akhir tahun (2013), masalah sosial sudah selesai," kata Hatta.
Terkait anggaran yang dibutuhkan, Hatta memperkirakan besarannya sekitar Rp 700 miliar. Anggaran nantinya perlu dibahas kembali oleh pemerintah bersama DPR. Anggaran, ujarnya, tidak dapat diberikan langsung ke samsat, melainkan melalui kementerian/lembaga terkait.
Sementara Djoko Kirmanto mengatakan, secara teknis, Waduk Jatigede sudah dapat digenangi 1 April 2014. Akan tetapi, jika permasalahan sosial belum selesai, target penggenangan bisa dimundurkan. "Tadi dikatakan, kalau diproses dengan catatan perpres keluar di Januari, maka prosesnya nanti baru bisa dilakukan 1 September," ujar Djoko seraya meyakini permasalahan sosial yang melingkupi pembangunan waduk yang telah digagas 46 tahun silam itu dapat terselesaikan.
►Diposting oleh
:Unknown
:
di
19.30
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar