BENGKAYANG - Tikar Bidai hasil buatan tangan warga Dusun Sinargalih, Desa Seluas, Kecamatan Seluas, Kabupaten Bengkayang, diklaim Malaysia sebagai salah satu kerajinan tangan miliknya.
Basiran (45), salah seorang pengrajin Tikar Bidai, mengatakan, modus yang dilakukan yakni mengganti merek dari tikar tersebut. Mereka melakukan borong terhadap pedagang di daerah perbatasan kemudian menjual kembali dengan memberi nama Bidai Serawak.
“Kalau sudah masuk Malaysia mereka mengklaim menjadi Bidai Serawak dengan terlebih dahulu mereka poles dan mereka kemas," kata Basiran kepada Okezone.
Tidak hanya itu, harga jual pun dinaikkan hingga lima kali lipat. Jika harga jual awalnya 220 ringgit Malaysia (RM), setelah sampai di Negeri Jiran naik menjadi 1.000 RM.
Dia menjelaskan, tidak hanya Malaysia, tikar ini memang diminati dari berbagai wilayah. Tikar yang berasal dari kayu Kapuak ini bisa dianyam untuk beberapa jenis kerajinan seperti tikar, taplak meja, sajadah, dan hiasan dinding.
“Kalau pemesanan tidak hanya dari Malaysia, tetapi juga pemesanan dari Pontianak dan luar Kalbar," jelasnya.
Meski demikian, lanjutnya, Basiran mengaku bahan baku untuk Tikar Bidai kini sulit ditemukan. Salah satu faktor penyebabnya yakni masuknya lahan sawit di Dusun mereka sehingga mengalami keterbatasan bahan baku.
Selain itu, sumber daya manusia yang mulai enggan menganyam karena penduduk lebih memilih bekerja buruh di sawit. "Sekarang tinggal delapan pengrajin saja," tuturnya.
Mendapati hal tersebut, perwakilan Dinas Perdagangan dan Industri Kabupaten Bengkayang, Sudadi, mengaku, sejauh ini Pemkab Bengkayang telah berupaya menjaga agar tikar Bidai menjadi hak paten Kabupaten Bengkayang. (kem)
Kepada wartawan, Hatta mengatakan substansi rapat kali ini adalah membahas usulan dari samsat untuk menyelesaikan permasalahan sosial dan lingkungan terkait pembangunan waduk yang berlokasi di Desa Cijeungjing, Kecamatan Jatigede, Kabupaten Sumedang. "Itu yang nanti akan dilindungi dengan perpres (peraturan presiden). Jadi, akan dibahas kembali usulan samsat tersebut dalam satu minggu," ujar Hatta.
Deny menambahkan rekomendasi dari samsat adalah masyarakat yang tidak memiliki hak relokasi diberi dana untuk jatah hidup setahun. Dana sebesar Rp 13 juta per kk meliputi sewa rumah, uang pembongkaran rumah hingga jatah hidup selama setahun ke depan. "Intinya kita harus dari aspirasi masyarakat dan regulasi," kata dia.
Deny menjelaskan, masyarakat yang terkena proyek pembangunan Waduk Jatigede terdiri dua kelompok. Pertama, kelompok masyarakat dengan payung hukum Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975.Berdasarkan beleid lawas tersebut, masyarakat sebanyak 4.590 kepala kkeluarga (KK) diberi lahan 400 meter persegi per KK, diberi rumah tipe 36 dan diberi jatah hidup satu tahun untuk memulai kehidupan yang baru. Kedua, kelompok masyarakat tanpa payung hukum Permendagri 15/1975 sebanyak 6.000 KK.
Denny menyebut kelompok tanpa payung hukum Permendagri 15/1975 terbagi dua yakni kelompok yang menerima pembebasan ganti rugi mutlak. "Nah, mereka ini sudah menerima. Tapi, karena proyek itu dibangun bertahap, lalu dia tinggal di situ sampai uangnya habis dan jatuh miskin," kata Deny.
Kelompok ini ditambah oleh pendatang dengan berbagai latar belakang. "Itu yang sekarang menjadi masalah. Mereka yang istilah hukumnya itu tidak mempunyai hak relokasi dan tidak ada payung hukum. Harusnya dia sudah pindah, kenapa tak pindah? karena jatuh miskin," papar Deny.
Lebih lanjut, Hatta mengatakan, Waduk Jatigede diupayakan agar digenangi pada akhir 2014. "Kita harapkan sampai akhir tahun (2013), masalah sosial sudah selesai," kata Hatta.
Terkait anggaran yang dibutuhkan, Hatta memperkirakan besarannya sekitar Rp 700 miliar. Anggaran nantinya perlu dibahas kembali oleh pemerintah bersama DPR. Anggaran, ujarnya, tidak dapat diberikan langsung ke samsat, melainkan melalui kementerian/lembaga terkait.
Sementara Djoko Kirmanto mengatakan, secara teknis, Waduk Jatigede sudah dapat digenangi 1 April 2014. Akan tetapi, jika permasalahan sosial belum selesai, target penggenangan bisa dimundurkan. "Tadi dikatakan, kalau diproses dengan catatan perpres keluar di Januari, maka prosesnya nanti baru bisa dilakukan 1 September," ujar Djoko seraya meyakini permasalahan sosial yang melingkupi pembangunan waduk yang telah digagas 46 tahun silam itu dapat terselesaikan.