detikTravel Community - Merayakan
Idul Adha di Indonesia, tentu terbayang meriahnya. Namun bagaimana di
Kamboja dan Vietnam? Idul Adha dan penyembelihan kurban di Kamboja dan
Vietnam menjadi pengalaman hangat dan penuh rasa kekeluargaan.
Setelah membayar pungutan di kantor imigrasi Kamboja, tim melintas perbatasan dengan menuntun kendaraan roda dua kami. Udara terasa semakin panas di dalam mobil van yang penuh sesak oleh penumpang. Dendangan lagu berbahasa Khmer tak mampu mengusir lelah setelah 5 jam perjalanan dari Phnom Penh, ibu kota Kamboja. Debu-debu tebal yang berterbangan dari jalanan tanah merah dan rusak sepanjang jalur Kamboja-Vietnam membuat mata perih dan sesak di dada.
Jalur Phnom Penh-Kampong Champ-Suong (Kamboja) hingga ke perbatasan Tan Lap-Tay Ninh (Vietnam) tak ubahnya seperti Jalan Lintas Timur Sumatera, bergelombang, berdebu, dan berlubang. Kanan dan kiri jalan pun dipenuhi sawah dan ladang.
20 Km sebelum perbatasan negara Kamboja-Vietnam di Tan Lap, saya yang menjadi bagian tim Tebar Hewan Kurban (THK) Dompet Dhuafa untuk menyalurkan amanah kurban di Vietnam pun harus turun dari kendaraan roda empat. Dua orang mitra dari Vietnam telah menunggu dengan kendaraan sepeda motor mereka.
Setelah berganti kendaraan, tim kembali menyusuri jalanan berdebu menuju Vietnam. Kendaraan sepeda motor memang lebih mudah melintas di perbatasan dua negara Indochina ini dibanding mobil.
"Kita harus membayar mahal jika harus menyeberang dengan mobil," jelas Muhammad Zein yang membawa kami.
Setelah membayar pungutan di kantor imigrasi Kamboja, tim melintas perbatasan dengan menuntun kendaraan. "Kita tidak boleh menaiki kendaraan mulai dari pintu keluar Kamboja hingga masuk wilayah Vietnam," ungkap Zein.
Setelah 2 jam berkendara, tim pun tiba di Desa Xa Suoi Day, Distrik Tan Chau, Provinsi Tay Ninh, Vietnam. Total 7 jam perjalanan yang harus ditempuh dari Phnom Penh menuju desa ini.
Keramahan dan keakraban warga Desa Xa Suoi lah yang mampu meruntuhkan penat di raga. Di rumah panggung sederhana, mereka dengan suka cita menyambut kami, menghidangkan aneka makanan di perjamuan yang bersahaja.
Pagi hari, setelah pelaksanaan Salat Ied di Masjid Jamiul Ni Amah, puluhan warga berkumpul di tanah lapang milik salah satu tetua desa. Sebanyak 13 sapi yang telah disiapkan, digiring menuju tanah lapang untuk dipotong dan dibagikan kepada warga.
Satu per satu sapi diikat dan digulingkan untuk dipotong. Beberapa pria yang akan 'melumpuhkan' nampak kesulitan karena tidak terbiasa. Bahkan terkesan kasar saat mengikat dan menggulingkan sapi yang hendak disembelih.
"Setahu saya, sudah delapan tahun tidak ada pemotongan hewan kurban di desa ini," ungkap Zein dengan Bahasa Indonesia cukup lancar. Maklum, ia pernah mengenyam pendidikan pesantren salaf di Kediri, Jawa Timur.
Desa Xa Suoi Day termasuk desa miskin, penduduk yang berjumlah 1.583 orang. Mayoritas penduduknya berprofesi sebagai petani padi dan penyadap karet. Harga sapi yang mencapai USD 600 (Rp 6,9 juta) per ekor tak mampu mereka beli untuk dikurbankan.
"Sapinya mahal sekali, kita pun harus beli dari Kamboja," terangnya.
Selain di desa Xa Suoi Day, tujuh sapi kurban lainnya disalurkan melalui masjid Nurul Iman yang berlokasi di Distrik Tan Hurg. Semula, kurban akan disalurkan di 5 titik. Namun, karena keterbatasan waktu dan jauhnya jarak tempuh, pemotongan kurban hanya dilaksanakan di dua desa itu. Namun, pembagiannya tetap disebar di desa-desa tetangga sekitar.
Di Provinsi Tay Ninh, sebenarnya ada sembilan perkampungan muslim etnik Champ. Namun, hanya ada tujuh masjid yang berdiri. Perkembangan Islam di provinsi ini cukup lamban dibanding di Hanoi maupun Ho Chi Minh.
Pemerintah Sosialis Vietnam cukup ketat dalam mengontrol imam-imam masjid di pedesaan. Setiap orang tidak bisa seenaknya mengajarkan Al Quran atau ilmu agama tanpa ada surat izin dari pemerintah setempat.
Menjelang sore hari, tim kembali ke Kamboja dengan sepeda motor milik warga. Kali ini wilayah sasaran kurban adalah Kampong Champ dan Kratie yang juga menjadi populasi warga muslim etnik Champ.
Ya, muslim Champ di Vietnam dan Kamboja memang masih satu asal-usul, yaitu Kerajaan Champ yang berkuasa di Vietnam dan beberapa negara Indochina seperti Laos. Setelah kerajaan Islam ini berperang dengan Vietnam pada awal tahun 18-an, banyak warga Champ yang eksodus ke negeri tetangga, dan sebagian besarnya ke Kamboja.
Berbeda dengan desa-desa di Vietnam, di Kamboja, khususnya di kedua wilayah itu, kita dengan mudah menemukan masjid dan surau. Kebanyakan adalah bantuan dari Timur Tengah, Kuwait dan Uni Emirat Arab.
Di Kamboja, THK Dompet Dhuafa juga menyalurkan 20 sapi amanah kurban dari masyarakat Indonesia. Kurban dipotong di Desa Phum Themie, Ambil, Phum Soy dan Jumnik. Keempat desa tersebut adalah desa yang memungkinkan diakses oleh tim untuk menyaksikan penyembelihan kurban.
Setalah dipotong, beberapa orang dari berbagai desa sekitar sudah siap mengambil jatah mereka untuk dibagikan kepada warga. Beberapa sapi juga diberikan kepada warga yang akan menggelar hajatan pernikahan untuk anak-anak mereka. Di Kamboja, komunitas muslim sengaja menggelar pesta pernikahan berdekatan dengan Hari Raya Idul Adha.
Alasannya sederhana, agar mereka bisa menghemat biaya kenduri. Bahkan ada yang memajukan tanggal pernikahan setelah dapat kepastian akan memperoleh daging kurban.
"Sebenarnya pernikahannya masih tiga bulan, tapi setelah ada kabar akan ada kurban di kampung ini, mereka bisa mendapatkannya, tanggal nikah pun diubah maju," terang warga Phum Soy yang telah lama tinggal di Malaysia, Maad Ahmad.
Populasi warga Muslim Kamboja berjumlah 600.000 atau 5 % dari total penduduk Kamboja. Sebagian besarnya tinggal di Kampong Champ. Kondisi sosial ekonomi muslim Champ di Kamboja tak jauh berbeda dengan saudara mereka di Vietnam.
Kebanyakan warga hanya mengandalkan dari padi yang mereka tanam dan ikan-ikan di sungai Mekong, yang tepat berada di belakang rumah mereka. Kondisi ini diperparah dengan buruknya infrastruktur di pedesaan seperti jalan, listrik, dan air minum.
Jalanan rusak dan berdebu, rumah-rumah panggung yang reyot dengan fasilitas seadanya dan anak-anak kecil yang bermain tanpa busana lengkap dan bertelanjang kaki akan mudah kita temukan di Kampong Champ.
Oleh karenanya, meski harga sapi lebih murah dibanding Indonesia, warga Kampong Champ tidak mampu membeli sapi untuk berkurban. Untuk kurban, mereka mengandalkan bantuan dari muslim Indonesia, Malaysia dan Singapura. Tak heran mereka lebih mengenal nama Malaysia daripada Indonesia.
"Kita doakan semoga Dompet Dhuafa semakin berjaya, sehingga bisa bantu lebih banyak lagi masyarakat sini di tahun yang akan datang, terima kasih Indonesia," ungkap Maad menerjemahkan ucapan warga Phum Soy.
sumber : http://news.detik.com/
Setelah membayar pungutan di kantor imigrasi Kamboja, tim melintas perbatasan dengan menuntun kendaraan roda dua kami. Udara terasa semakin panas di dalam mobil van yang penuh sesak oleh penumpang. Dendangan lagu berbahasa Khmer tak mampu mengusir lelah setelah 5 jam perjalanan dari Phnom Penh, ibu kota Kamboja. Debu-debu tebal yang berterbangan dari jalanan tanah merah dan rusak sepanjang jalur Kamboja-Vietnam membuat mata perih dan sesak di dada.
Jalur Phnom Penh-Kampong Champ-Suong (Kamboja) hingga ke perbatasan Tan Lap-Tay Ninh (Vietnam) tak ubahnya seperti Jalan Lintas Timur Sumatera, bergelombang, berdebu, dan berlubang. Kanan dan kiri jalan pun dipenuhi sawah dan ladang.
20 Km sebelum perbatasan negara Kamboja-Vietnam di Tan Lap, saya yang menjadi bagian tim Tebar Hewan Kurban (THK) Dompet Dhuafa untuk menyalurkan amanah kurban di Vietnam pun harus turun dari kendaraan roda empat. Dua orang mitra dari Vietnam telah menunggu dengan kendaraan sepeda motor mereka.
Setelah berganti kendaraan, tim kembali menyusuri jalanan berdebu menuju Vietnam. Kendaraan sepeda motor memang lebih mudah melintas di perbatasan dua negara Indochina ini dibanding mobil.
"Kita harus membayar mahal jika harus menyeberang dengan mobil," jelas Muhammad Zein yang membawa kami.
Setelah membayar pungutan di kantor imigrasi Kamboja, tim melintas perbatasan dengan menuntun kendaraan. "Kita tidak boleh menaiki kendaraan mulai dari pintu keluar Kamboja hingga masuk wilayah Vietnam," ungkap Zein.
Setelah 2 jam berkendara, tim pun tiba di Desa Xa Suoi Day, Distrik Tan Chau, Provinsi Tay Ninh, Vietnam. Total 7 jam perjalanan yang harus ditempuh dari Phnom Penh menuju desa ini.
Keramahan dan keakraban warga Desa Xa Suoi lah yang mampu meruntuhkan penat di raga. Di rumah panggung sederhana, mereka dengan suka cita menyambut kami, menghidangkan aneka makanan di perjamuan yang bersahaja.
Pagi hari, setelah pelaksanaan Salat Ied di Masjid Jamiul Ni Amah, puluhan warga berkumpul di tanah lapang milik salah satu tetua desa. Sebanyak 13 sapi yang telah disiapkan, digiring menuju tanah lapang untuk dipotong dan dibagikan kepada warga.
Satu per satu sapi diikat dan digulingkan untuk dipotong. Beberapa pria yang akan 'melumpuhkan' nampak kesulitan karena tidak terbiasa. Bahkan terkesan kasar saat mengikat dan menggulingkan sapi yang hendak disembelih.
"Setahu saya, sudah delapan tahun tidak ada pemotongan hewan kurban di desa ini," ungkap Zein dengan Bahasa Indonesia cukup lancar. Maklum, ia pernah mengenyam pendidikan pesantren salaf di Kediri, Jawa Timur.
Desa Xa Suoi Day termasuk desa miskin, penduduk yang berjumlah 1.583 orang. Mayoritas penduduknya berprofesi sebagai petani padi dan penyadap karet. Harga sapi yang mencapai USD 600 (Rp 6,9 juta) per ekor tak mampu mereka beli untuk dikurbankan.
"Sapinya mahal sekali, kita pun harus beli dari Kamboja," terangnya.
Selain di desa Xa Suoi Day, tujuh sapi kurban lainnya disalurkan melalui masjid Nurul Iman yang berlokasi di Distrik Tan Hurg. Semula, kurban akan disalurkan di 5 titik. Namun, karena keterbatasan waktu dan jauhnya jarak tempuh, pemotongan kurban hanya dilaksanakan di dua desa itu. Namun, pembagiannya tetap disebar di desa-desa tetangga sekitar.
Di Provinsi Tay Ninh, sebenarnya ada sembilan perkampungan muslim etnik Champ. Namun, hanya ada tujuh masjid yang berdiri. Perkembangan Islam di provinsi ini cukup lamban dibanding di Hanoi maupun Ho Chi Minh.
Pemerintah Sosialis Vietnam cukup ketat dalam mengontrol imam-imam masjid di pedesaan. Setiap orang tidak bisa seenaknya mengajarkan Al Quran atau ilmu agama tanpa ada surat izin dari pemerintah setempat.
Menjelang sore hari, tim kembali ke Kamboja dengan sepeda motor milik warga. Kali ini wilayah sasaran kurban adalah Kampong Champ dan Kratie yang juga menjadi populasi warga muslim etnik Champ.
Ya, muslim Champ di Vietnam dan Kamboja memang masih satu asal-usul, yaitu Kerajaan Champ yang berkuasa di Vietnam dan beberapa negara Indochina seperti Laos. Setelah kerajaan Islam ini berperang dengan Vietnam pada awal tahun 18-an, banyak warga Champ yang eksodus ke negeri tetangga, dan sebagian besarnya ke Kamboja.
Berbeda dengan desa-desa di Vietnam, di Kamboja, khususnya di kedua wilayah itu, kita dengan mudah menemukan masjid dan surau. Kebanyakan adalah bantuan dari Timur Tengah, Kuwait dan Uni Emirat Arab.
Di Kamboja, THK Dompet Dhuafa juga menyalurkan 20 sapi amanah kurban dari masyarakat Indonesia. Kurban dipotong di Desa Phum Themie, Ambil, Phum Soy dan Jumnik. Keempat desa tersebut adalah desa yang memungkinkan diakses oleh tim untuk menyaksikan penyembelihan kurban.
Setalah dipotong, beberapa orang dari berbagai desa sekitar sudah siap mengambil jatah mereka untuk dibagikan kepada warga. Beberapa sapi juga diberikan kepada warga yang akan menggelar hajatan pernikahan untuk anak-anak mereka. Di Kamboja, komunitas muslim sengaja menggelar pesta pernikahan berdekatan dengan Hari Raya Idul Adha.
Alasannya sederhana, agar mereka bisa menghemat biaya kenduri. Bahkan ada yang memajukan tanggal pernikahan setelah dapat kepastian akan memperoleh daging kurban.
"Sebenarnya pernikahannya masih tiga bulan, tapi setelah ada kabar akan ada kurban di kampung ini, mereka bisa mendapatkannya, tanggal nikah pun diubah maju," terang warga Phum Soy yang telah lama tinggal di Malaysia, Maad Ahmad.
Populasi warga Muslim Kamboja berjumlah 600.000 atau 5 % dari total penduduk Kamboja. Sebagian besarnya tinggal di Kampong Champ. Kondisi sosial ekonomi muslim Champ di Kamboja tak jauh berbeda dengan saudara mereka di Vietnam.
Kebanyakan warga hanya mengandalkan dari padi yang mereka tanam dan ikan-ikan di sungai Mekong, yang tepat berada di belakang rumah mereka. Kondisi ini diperparah dengan buruknya infrastruktur di pedesaan seperti jalan, listrik, dan air minum.
Jalanan rusak dan berdebu, rumah-rumah panggung yang reyot dengan fasilitas seadanya dan anak-anak kecil yang bermain tanpa busana lengkap dan bertelanjang kaki akan mudah kita temukan di Kampong Champ.
Oleh karenanya, meski harga sapi lebih murah dibanding Indonesia, warga Kampong Champ tidak mampu membeli sapi untuk berkurban. Untuk kurban, mereka mengandalkan bantuan dari muslim Indonesia, Malaysia dan Singapura. Tak heran mereka lebih mengenal nama Malaysia daripada Indonesia.
"Kita doakan semoga Dompet Dhuafa semakin berjaya, sehingga bisa bantu lebih banyak lagi masyarakat sini di tahun yang akan datang, terima kasih Indonesia," ungkap Maad menerjemahkan ucapan warga Phum Soy.
sumber : http://news.detik.com/
►Diposting oleh
:Unknown
:
di
14.23
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar